5Blogger – Niat berbuat baik menjadi awal dari kisah mengharukan sekaligus mengejutkan yang dibagikan pemilik akun Threads @karinaulfiani. Ia menceritakan tentang sang paman yang dikenal dermawan di lingkungan tempat tinggalnya. Dengan tulus, sang paman rutin memberikan bantuan berupa sembako kepada warga sekitar demi membantu mencukupi kebutuhan pokok mereka. Namun, alih-alih mendapat apresiasi, kebaikan hati tersebut justru berujung pada tekanan dan teror yang tak disangka
Segalanya berubah ketika sang paman suatu waktu tidak lagi memberikan bantuan. Respons warga sungguh tak terduga—jendela rumahnya dilempari hingga pecah oleh oknum tak dikenal. Beberapa tetangga bahkan datang menagih bantuan seolah itu merupakan kewajiban tetap sang paman, bukan bentuk sukarela. Merasa tak nyaman dan tertekan, ia pun memutuskan untuk berhenti bersedekah.
“Simak Juga: Rektor USU Bahas Inovasi Pendidikan Tinggi di Fakultas Pertanian”
Sayangnya, keputusan itu justru memicu reaksi negatif yang lebih luas. Warga yang sebelumnya terbantu kini merasa kehilangan dan menunjukkan sikap tidak bersahabat, bahkan marah, karena mereka telah terlalu bergantung pada bantuan tersebut.
Menanggapi fenomena ini, sosiolog Nia Elvina menjelaskan bahwa akar masalah terletak pada terkikisnya empati dan nilai harga diri dalam masyarakat. “Fenomena demikian berakar dari semakin terkikisnya empati dan nilai harga diri dalam masyarakat kita,” ujar Nia pada Kamis (3/4/2025).
Nia menambahkan bahwa masyarakat Indonesia masih lekat dengan sistem patron-klien, yakni hubungan sosial yang tidak setara antara pihak pemberi dan penerima. Dalam sistem ini, penerima cenderung merasa pihak lain wajib membantu mereka secara terus-menerus, tanpa mendorong kemandirian.
“Ini menciptakan siklus ketergantungan yang sulit diputus. Bahkan, pola ini juga tercermin dalam perilaku pengelola negara,” kata Nia. Ia mencontohkan, ada pemimpin yang setelah mendapat jabatan tidak lagi memiliki empati terhadap rakyatnya.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa bantuan yang diberikan tanpa membangun kemandirian justru bisa berdampak negatif, baik bagi pemberi maupun penerima. Tidak ada salahnya untuk berbagi dan menebar kebaikan, tetapi perlu disertai batasan, konsistensi, dan pemahaman yang jelas. Kebaikan sejati adalah yang mendorong orang lain bangkit, tumbuh, dan mandiri—bukan menggantungkan hidupnya pada orang lain.
“Baca Juga: Waspadai Bahaya Microsleep, Tidur Singkat yang Bisa Mematikan”
This website uses cookies.